Harian Investor Daily, 03/09/2008 23:54:26 WIB
Oleh Jauhari Mahardhika dan Dudi Rahman
JAKARTA, Investor Daily - PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melunasi ganti rugi tumpang tindih lahan dengan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) senilai US$ 57 juta (Rp 525,54 miliar) dari total pembayaran US$ 60 juta. Penghasil batubara nomor dua terbesar di Indonesia tersebut sebelumnya telah membayar US$ 3 juta pascapenyelesaian tumpang tindih lahan disepakati.
Namun, Astra Agro tetap diberi kesempatan empat tahun mendatang untuk mengambil hasil perkebunan di atas lahan tersebut. Setelah ganti rugi tumpang tindih lahan dilunasi, Adaro juga segera mengeksplorasinya. Tapi, eksplorasi tidak boleh merusak komoditas yang sudah ditanam oleh anak usaha Grup Astra itu, seperti karet dan kelapa sawit. Sebab, eksplorasi baru sebatas pengeboran dan belum sampai pengambilan batubara di dalam tanah.
“Para pihak setuju komoditas di atas lahan tetap milik Astra Agro, dan sesewaktu bisa dipanen,” kata Direktur Adaro Energy Andre J Mamuaya kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (2/9).
Kasus tumpang tindih lahan antara Adaro Energy dan Astra Agro terjadi sejak 1999. Berdasarkan Undang Undang (UU) Pertambangan No 11 Tahun 1967, Pasal 26 dan Pasal 27 tentang Areal Tumpang Tindih Kebun dan Tambang, Astra Agro semestinya menyerahkan lahan perkebunan untuk keperluan pertambangan Adaro Energy.
Adaro selanjutnya mengajukan permohonan pembebasan lahan, termasuk aset tidak bergerak yang terdapat di atas tanah. Berdasarkan 13 sertifikat hak guna usaha (HGU), total luas lahan yang ingin dibebaskan mencapai 7.163 hektare (ha) di Tabalong, Kalimantan Timur.
Investor Relations Astra Agro Tjahyo Dwi Ariantoro mengungkapkan, Adaro Energy yang pertama mengajukan permohonan pembebasan lahan milik perseroan. Permohonan dilakukan untuk perluasan pengusahaan tambang batubara di wilayah konsesi Astra Agro melalui dua anak usaha, PT Cakung Permata Nusa (CPN) dan PT Cakradenta Agung Pertiwi (CAP). Namun, Astra Agro tidak langsung menerima permohonan, mengingat di atas lahan yang sama terdapat komoditas yang siap dipanen. “Oleh karena itu, wajar kalau penyelesaian tumpang tindih lahan ini berlangsung cukup lama,” ujar dia.
Trimegah Securities pernah memperkirakan, pembebasan lahan dengan harga pengganti sekitar US$ 60 juta tidak berdampak negatif atas laba bersih Astra Agro Lestari. Apalagi, selama empat tahun perseroan tetap mengelola dan memanfaatkan hasil lahannya. Selain itu, estimasi total pendapatan dari perkebunan karet yang berada di atas lahan hanya berkisar 1,5%. Sedangkan bisnis karet mengontribusi 1,6% terhadap jumlah pendapatan perseroan tahun ini.
Menurut penilai independen, nilai pasar wajar objek berkisar Rp 550,491 miliar. Dengan asumsi luas lahan 6.400 ha dan nilai pasar wajar objek, nilai lahan AALI sekitar US$ 8.353 per ha untuk lahan HGU atau US$ 9.349 untuk area perkebunan.
Itikad Baik
Tjahyo menambahkan, sejak 10 tahun terakhir manajemen Astra Agro berganti-ganti. Dengan demikian, masing-masing pimpinan mempunyai pandangan yang berbeda terkait sengketa tumpang tindah lahan dengan Adaro Energy. Namun, sejak April 2008 perseroan menilai, permasalahan itu harus dituntaskan. Menurut dia, Astra Agro tidak pernah dipaksa oleh pihak manapun untuk menyetujui penyelesaian tumpang tindih lahan. Penyelesaian semata-mata didorong oleh itikad baik kedua pihak. Soalnya, Astra Agro memiliki kewajiban sesuai undang-undang yang belum dipenuhi. Oleh karena itu, ajakan berunding dan menyelesaikan masalah langsung disambut baik. “Penggantian sekitar US$ 60 juta sudah sesuai dengan penilaian harga pasar areal yang akan dilepas berdasarkan hasil penilai independen. Kami telah menerima nilai ganti rugi yang ditaksir,” jelas Tjahyo.
Dihubungi terpisah, Kepala Riset PT Recapital Securities Poltak Hotradero berpendapat, proses ganti rugi tumpang antara Adaro Energy dan Astra Agro mencerminkan win-win solution. Dengan begitu, Adaro dapat lebih leluasa mengeksplorasi tambang batubara.
Sedangkan Astra Agro bisa memanfaatkan lahan yang sebagian besar merupakan kebun karet empat tahun ke depan. Sebab, produksi batubara baru dimulai pada 2012 seiring target perseroan untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 80 juta ton.
“Ganti rugi yang diterima dari Adaro tidak sampai mengganggu kinerja keuangan Astra Agro, karena komoditas karet bukan merupakan fokus pengembangan usaha ke depan, melainkan minyak sawit mentah (CPO),” tutur Poltak.
Astra Agro merupakan salah satu produsen CPO terbesar di Tanah Air. Hingga semester I-2008, perseroan membukukan penjualan penjualan kelapa sawit dan turunannya sekitar Rp 4,44 triliun. Penjualan itu melonjak 51% dibandingkan periode sama 2007 senilai Rp 2,92 triliun.
Produksi CPO dari Januari-Juni 2008 tercatat 476.909 ton, dengan harga rata-rata Rp 8.299 per kilogram (kg). Produk turunan lain seperti inti sawit (palm kernel) mencapai 80.879 ton seharga Rp 4.418 per kg. Minyak kernel mencapai 8.005 ton (Rp 10.599 per kg) dan bungkil sawit 11.008 ton (Rp 925 per kg).
Pertumbuhan volume penjualan CPO hingga 30 Juni 2008 meningkat 19,6% dibandingkan periode sama tahun lalu 396.787 ton. Dari jumlah itu, sekitar 89,8% dijual di pasar domestik, sisanya diekspor. Astra Agro memiliki 19 pabrik pengolahan tandan buah segar (TBS), yakni dua pabrik di Aceh, enam di Riau, dua di Jambi, satu di Kaltim, tiga di Kalteng, satu di Kalsel, dan empat di Sulbar. Perseroan mengalokasikan belanja modal Rp 1,52 triliun tahun ini. Sebesar 35% bakal dipakai untuk perluasan dan akuisisi lahan, 29% untuk penanaman dan aktivitas kebun. Sedangkan sisanya digunakan untuk bisnis nonperkebunan, pembangunan pabrik, dan infrastruktur pendukung.
Mengenai prospek saham, Poltak mengatakan, pergerakan harga CPO di pasar global berpotensi mempengaruhi harga sahamnya. Dia memperkirakan, saham berbasis CPO hingga akhir tahun dalam tren penurunan. Soalnya, cadangan CPO dunia berlimpah. Di Malaysia, cadangan CPO tercatat dua juta ton. Sedangkan panen raya akan tiba dalam waktu dekat. “Pasar setidaknya mengantisipasi sinyal kelebihan cadangan, sehingga mereka melakukan profit taking,” ujar dia
Adaro Energy belum lama ini meraup dana dari hasil penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham senilai Rp 12,2 triliun. Sebagian besar dana dipakai meningkatkan kapasitas produksi menjadi 38 juta ton batubara per tahun. Sekitar 70% dari total produksi perseroan diekspor ke Asia Tenggara, Amerika Serikat (AS), dan Eropa. Sisanya dipasarkan di dalam negeri. Khusus PLTU milik PT Perusahaan Listrik Negara, perseroan memasok batubara sekitar 10 juta ton.
Pada semester I-2008, Adaro Energy membukukan penjualan US$ 725 juta atau setara Rp 6,63 triliun. Penjualan tersebut sudah mewakili 41% dari target pendapatan Rp 16 triliun tahun ini. Kenaikan penjualan ditopang oleh lonjakan harga batubara di pasar internasional. Harga jual batubara Adaro masih berkisar US$40-40,5 per ton.
Menanggapi hal itu, Poltak Hotradero mengatakan, kontrak penjualan jangka panjang yang dilakukan Adaro Energy dapat membantu kinerja keuangan bila harga batubara merosot seperti belakangan ini.
Secara terpisah, Kepala Riset PT Sarijaya Permana Sekuritas Danny Eugene mengakui, bisnis batubara masih tetap cerah. Sebab, proyek pembangunan PLTU 10.000 MW yang akan dilakukan pemerintah membutuhkan banyak batubara. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap saham-saham berbasis komoditas, seperti batubara. Namun, dia mengingatkan, harga batubara di pasar internasional tidak bakal melonjak drastis seperti 2007. Dengan demikian, tidak ada lagi pendapatan yang luar biasa bagi emiten berbasis komoditas batubara. (c122)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas saran, pendapat ataupun komentarnya yang membangun...