Begitulah wartawan menjaga kerahasiaan narasumbernya. Bila seorang jurnalis punya reputasi berkhianat, maka kredibilitasnya tamat, dan tak ada lagi narasumber yang bersedia membantunya (sampai hari kiamat). Pimpinan di redaksi yang biasanya adalah jurnalis senior, mestinya jauh lebih memahami hal-hal seperti ini, dan tidak terlibat dalam persekongkolan dengan pihak manapun untuk mengkhianati sumber dan mengorbankan wartawannya sendiri.
Menggugat Narasumber
Saya kira banyak yang salah menafsirkan ketika redaksi Tv One bermaksud menuntut Andris Ronaldi. Sejauh yang saya pahami, redaksi Tv One tidak menuntut Andris karena telah menjadi narasumber palsu, melainkan karena telah menuding televisi itu melakukan rekayasa. Ada dua hal yang secara substansi perlu diverifikasi dari pengakuan Andris: Pertama, dia mengaku dijebak. Andris mengaku, semula ia diundang untuk menjadi narasumber dalam topik seputar Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tapi kemudian dibelokkan menjadi isu markus. Kedua, dia mengaku diminta menghafal skenario tanya-jawab yang sudah disiapkan tim Tv One tentang peran markus di Mabes Polri.
Keterangan Andris ini memang bertabur kejanggalan, dan Dewan Pers mestinya dengan mudah memverifikasinya. Sejauh informasi yang beredar di media massa, Andris Ronaldi adalah humas sebuah klub penggemar motor bermesin besar (moge). Dia juga disebut-sebut pernah bekerja sebagai penjual alat-alat kesehatan, karyawan perusahaan pembiayaan, bahkan punya bisnis periklanan. Di atas kertas, sebagai jurnalis, saya belum melihat sedikitpun kompetensi Andris dalam topik ketenagakerjaan, terutama TKI. Karena itu perlu diuji, misalnya dengan menanyakan singkatan BNP2TKI. Tak semua jurnalis atau anggota Dewan Pers hafal singkatan itu. Tapi sebagai narasumber topik TKI, mustahil Andris tak hafal luar kepala.
Kedua, pengakuan bahwa redaksi Tv One menyiapkan skenario pertanyaan dan jawaban memang kurang masuk akal. Bukan karena ruang redaksi media dijamin steril dari kebohongan dan rekayasa, melainkan karena konteks topiknya, yakni markus di Mabes Polri. Sebab, wartawan sendiri bukan malaikat yang tak tergoda membikin rekayasa. Justru semakin besar kasusnya, makin besar pula godaan untuk melakukan kebohongan.
November 2006, koran besar Jawa Pos tersangkut skandal wawancara palsu istri tersangka teroris Dr. Azhari. Wawancara eksklusif via telepon itu ternyata bodong sebab istri alarhum Azhari ternyata tak bisa berkomunikasi dengan baik. Ada gangguan pada pita suaranya yang tak memungkinkannya berbicara secara jelas dan lugas dalam komunikasi verbal tatap muka, konon lagi melalui telepon.
Jadi, bila saya menganggap skenario tanya jawab yang disebut-sebut Andris itu kurang masuk akal, bukan karena saya percaya sepenuhnya integritas para jurnalis Tv One (terutama setelah berita yang fatal tentang fakta kematian Noordin M Top), tapi karena topik ini telalu sensitif secara politik bagi ruang redaksi.
Siapa yang tak tahu bahwa televisi ini kerap mendapat akses khusus untuk topik-topik liputan yang berkaitan dengan polisi, terutama terorisme. Akses dibangun dari lobi institusi, ketekunan individu, bahkan dalam kasus tertentu “jurnalisme transaksional” (dimulai dari hal sepele seperti menyebut “gugur” untuk anggota polisi, dan “tewas” untuk teroris).
Dengan dependensi yang seperti ini, saya ragu Tv One berani “cari gara-gara” dengan merekayasa talkshow tentang markus yang bergentayangan di Mabes Polri. Dus, saya memang ragu dengan keterangan Andris, sebab yang paling diuntungkan dengan pengingkaran ini sejatinya adalah Mabes Polri sendiri. Bila publik bisa diyakinkan bahwa Andris adalah narasumber bodong, maka selamatlah wajah korps Polri yang baru saja kehilangan dua jenderalnya dalam kasus Gayus Tambunan itu.
Permintaan Maaf Itu
Satu lagi indikasi bahwa Tv One mustahil “cari gara-gara” dengan merekayasa talkshow tentang polisi, adalah fakta bahwa redaksi televisi ini langsung meminta maaf kepada polisi atas munculnya masalah ini (9 April 2010). Logika orang ramai lantas dipenuhi pertanyaan: Meminta maaf atas apa? Karena telah menampilkan narasumber palsu? Atau justru karena telah memberitakan fakta?
Saya menganggap permintaan maaf ini “tak jelas jenis kelaminnya”. Bila Tv One meminta maaf karena menampilkan narasumber palsu, maka permintaan maaf itu lebih tepat ditujukan kepada jutaan pemirsanya, daripada untuk polisi. Publik lah—pemilik sah frekuensi yang dipinjam kelompok usaha Bakrie—yang paling dirugikan dengan penyesatan informasi, bukan semata-mata Polri. Filosofi jurnalisme yang mengabdi pada kepentingan publik (juga konsep tentang televisi terestrial) agaknya sudah tertimbun oleh hasrat untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu demi menjaga hubungan baik. Dengan cara pandangan seperti ini, tak heran bila publik dilupakan dan bisa jadi wartawan sendiri pun dikorbankan.
[bersambung...Side 3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas saran, pendapat ataupun komentarnya yang membangun...