Sabtu, 14 Juni 2008

Putri Banjar Di Tanah Dayak, Oleh: Marko Mahin

Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu, memang agak
tersembunyi di balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau kita
bepergian dari Banjarmasin ke Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar, bangunan
itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah bangunan sekolah dasar akan
menghalangi pandangan kita.
 
Menurut tetuha adat di Desa Jaar, di dalam bangunan berbentuk rumah adat Banjar
itu terdapat pusara Putri Mayang Sari. Ia adalah putri Sultan Banjar yang
pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak Ma'anyan. Karena itu bagi orang Dayak
Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti dan makna tersendiri.
 
Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang Banjar dan Urang
Ma'anyan yang bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan data untuk bahan
tulisan ini, saya dibantu Hadi Saputra Miter, putra Dayak Ma'anyan asal Tamiang
Layang yang sekarang kuliah di STT-GKE Banjarmasin.
 
Putri Mayang Sari
 
Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma'anyan, Mayang Sari yang adalah putri
Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya,
Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi
pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan
Kasawalas Paras Kajang Mamma'i. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi
lisan orang Dayak Ma'anyan adalah perempuan Ma'anyan cucu dari Labai Lamiah,
tokoh mubaligh Suku Dayak Ma'anyan.
 
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin
dari tanah Ma'anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman
Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin'nyan
yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya,
Sultan Suriansyah terkena denda Adat Bali, yaitu selain membayar sejumlah
barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.
 
Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat mengangkat Putri Mayang
Sari untuk memimpin daerah Sangarasi yang sekarang bernama Ja'ar --lima
kilometer dari Tamiang Layang. Kepemimpinan Mayang Sari sangat diakui
masyarakat setempat, karena selain putri dari seorang Sultan Banjar, ia adalah
saudara angkat Uria Mapas Negara.
 
Dalam tradisi Dayak Ma'anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan
berambut panjang dan berparas cantik. Namun bukan hanya kecantikan yang
mempesona dimilikinya, tetapi kemampuan menyejahterakan rakyat di wilayah yang
dipimpinnya. Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah
diam. Ia rajin mengadakan kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat
yang sebenarnya, dan secara khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan
masyarakat. Ia selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat. Untuk
meningkatkan hasil panen, Putri Mayang Sari menganjurkan agar penduduk menanam
padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah
kering (tegalan).
 
Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah timur
yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah barat yaitu Tangkan,
Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Jaar Sangarasi. Menurut
kepercayaan orang Dayak Ma'anyan, daerah atau wilayah yang dikunjungi atau
dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat berkah-keberuntungan, misalnya
pohon buah berbuah lebat. Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal
manis dan disenangi banyak orang adalah karena daerah Tanjung adalah tempat
singgah Putri Mayang Sari.
 
Kendati beragama Islam, dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari
menggunakan sistem mantir epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan
tradisional Dayak Ma'anyan. Dalam pola kepemimpinan ini, satu wilayah ditangani
empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus masalah
pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam
pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya
kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma'anyan
adalah tataaturan kehidupan.
 
Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615 atau dalam
penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang Minau, Putri
Mayang sari wafat. Karena kecintaan rakyat kepadanya, jasadnya tidak langsung
dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah hingga kering.
Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad
Putri Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan
memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal
dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar
sekarang.
 
Urang Banjar

3 komentar:

Anonim mengatakan...

tukar link ya bung marko

hadi saputra, STh mengatakan...

putri banjar di tanah dayak adalah sebuah realitas, upaya banjar mendominasi masyarakat dayak dengan halus

hadi saputra, STh mengatakan...

peristiwa ini merupakan upya banjar dalam mendominasi masyarakat dayak dengan cara halus