Senin, 12 April 2010

Tv One, Polisi, dan Markus 'Aspal' [side 3]

Lantas kemungkinan kedua juga tak kalah ganjilnya. Bila talkshow itu memang faktual, lalu untuk apa Tv One meminta maaf pada polisi? Saya duga, permintaan maaf itu untuk menjaga hubungan baik dengan institusi Polri. Itu berarti Tv One bersikukuh bahwa Andris adalah narasumber kredibel alias markus di Mabes Polri, tapi mereka tetap meminta maaf bila berita itu menganggu tidur nyenyak para petinggi mabes. Bila ini benar, maka bagi saya ini adalah praktik “jurnalisme hamba sahaya”. Dalam struktur sosial yang feodal, seorang bawahan yang sebenarnya tak merasa bersalah, bisa saja tetap minta maaf kepada atasannya bila ada situasi-situasi yang membuat atasannya tak enak hati. Tugas jurnalisme adalah mengungkap fakta, dan tidak ada urusan apakah seorang jenderal bisa tidur atau tidak setelah hal itu diberitakan.

Bila benar ini cara berpikir jajaran pimpinan Tv One, maka agar adil, sebaiknya redaksi melakukannya setiap hari kepada setiap individu atau institusi yang menjadi obyek pemberitaan mereka. Tv One harus sering-sering mengatakan: “Redaksi yakin bahwa berita korupsi ini benar, tapi kami meminta maaf bila Anda terganggu dengan pemberitaan ini”.


Menyoal Kewenangan Polisi
Di sisi lain, dibukanya percakapan pribadi antara Andris Ronaldi dan Indy Rahmawati oleh polisi sesungguhnya bisa menimbulkan implikasi hukum. Kecuali tindakan mereka adalah persekongkolan pidana, maka tak ada hak apapun dari polisi untuk mengumumkannya kepada publik. Saya catat sudah dua kali polisi melakukan tindakan semacam ini. Yang pertama, dialami wartawan majalah Tempo, Metta Dharmasaputra, saat menekuni kasus skandal pajak Asian Agri (2007).

Polisi harus bertanggung jawab atas tersebarnya print out SMS Metta yang notabene adalah wartawan yang sedang bertugas menjalin kontak dengan mantan karyawan Asian Agri bernama Vincentius Amin Sutanto. Dalih polisi bahwa mereka sedang memata-matai Vincen (dan kemunculan telepon Metta tak terhindarkan), terbantahkan oleh fakta bahwa print out yang beredar bukan isi SMS Metta dengan Vincen, melainkan dengan pihak lain.

Dalam kasus Tv One, selain tak punya kewenangan menyebarluaskan isi SMS Indy-Andris—karena pembicaraan mereka berdua belum tentu relevan untuk diketahui publik—dalam kasus ini, institusi polisi sesungguhnya hanyalah pihak yang terkait pemberitaan semata, bukan institusi penegak hukum. Kebetulan saja Andris mengaku sebagai markus di Mabes Polri, sehingga ketika polisi bereaksi, kita menganggapnya sebagai tindakan aparat hukum. Padahal, sekali lagi, hal itu hanya kebetulan belaka. Bagaimana bila Andris adalah markus di lembaga lain yang tak punya kewenangan menyadap, membuntuti, menginterogasi keluarga, atau menangkap? Tidakkah tindakan itu justru harus dilaporkan ke polisi?

Kita perlu meluruskan logika, sebab dalam kasus ini, polisi jelas gagap membedakan antara dirinya sebagai lembaga hukum, dan (katakanlah) dirinya sebagai korban pemberitaan. Sebagai korban pemberitaan, polisi harus tunduk pada UU Pers dan UU Penyiaran, dengan menyerahkan kasus ini untuk diinvestigasi oleh Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Polisi sebagai korban pemberitaan, tak boleh bertindak sendiri menciduki narasumber, mentang-mentang memiliki organ untuk melakukannya.

Polisi bisa melaporkan indikasi bahwa narasumber tersebut palsu ke Dewan Pers, tapi tak bisa mencari-cari Andris karena telah menjadi narasumber di Tv One. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga hukum, polisi atau barangkali lebih tepat Propam Mabes Polri, bisa memproses Andris dalam konteks menindaklanjuti pengakuannya sebagai makelar kasus (sebagai saksi). Sebab yang harus didahulukan untuk diusut adalah para pejabat polri yang terindikasi terlibat permainan kasus, dan bukan whistleblower-nya.

Bila hasil penyelidikan ternyata nihil, maka secara hukum, Andris harus dilepas dan Polri bisa membuka kasus baru gugatan pencemaran nama baik kepada Andris dan Tv One karena pemberitaan yang merugikan korps mereka. Dan kasus ini bisa masuk dalam wilayah perdata, bukan semata-mata pidana.

Bila Andris memang bukan markus, maka tindak pidana apa yang ia langgar? Keterangan palsu? Bukankah keterangannya tidak di bawah sumpah sebagaimana layaknya di pengadilan? Bukankah ini kasus pencemaran nama baik lazimnya, yang mungkin melibatkan media dan bisa diselesaikan di jalur perdata?



[bersambung side 4]

Tidak ada komentar: