Selasa, 23 September 2008

“Orang Madagaskar dari Suku Dayak/Bugis“(part 1)

Seuntai info dari Teman:
“Orang Merina Madagaskar di Afrika Berasal dari Suku Dayak atau Bugis “
 
 
Menarik untuk disimak bila orang Merina di Madagaskar yang terletak di lepas pantai Afrika Timur sebenarnya berasal dari suku Konjo, anak suku Bugis di Sulsel atau berasal dari suku Dayak di Kalimantan Tenggara. Tulisan di Suara Pembaruan terbitan 4 Agustus 1991 lalu yang mengungkapkan masalah tersebut patut dijadikan bahan renungan sejarah.
Prof. TA Razanadriaka seorang intelektual Merina datang ke Indonesia tahun 1989 yang lalu, dan telah mengadakan temu muka dengan orang Dayak Maanyan di Barito Timur, Kalteng.
Ia berpendapat semua unsur-unsur Melayu yang terdapat di Madagaskar, menurun dari penduduk asli di daerah Kalimantan tenggara sekarang. Mereka mungkin sampai dibagian barat Samudera Indonesia di sekitar permulaan tahun Masehi. Sedangkan pelau-pelaut Melayu seudah lama bergaul di bagian utara samudera tersebut.
Waktu itu pulau Madagaskar belum dihuni oleh manusia dan penduduk di pantai Afrika bagian timur masih sama dengan Khoi-san di Afrika Selatan sekarang yang sangat berbeda dari orang Negro Bantu sebenarnya.
Berkat penyebaran tumbuh-tumbuhan dari Asia Tenggara seperti pisang, mangga, kelapa, keladi dan terutama ubi asli menjadi makanan pokok.
Orang Bantu yang berasal dari Afrika bagian barat cepat berkembang dan berhasil mencapai pantai timur benua tersebut pada abad-abad pertama sesudah masehi. Mengenai sejarah orang Nusantara sapai abad ke-10 masih gelap bagi kita.
Bagaimana hubungan antara orang Madagaskar dan orang Melayu selama periode itu? Apakah masih terus ada hubungan antara orang Madagaskar dan daerah leluhur mereka di Indonesia? Sampai kapan? Sayang sekali data yang bisa terdapat di Madagaskar sampai kini belum ada.
"jadi menurut saya, tidak perlu kita menduga bahwa komposisi ethnis orang Merina (dan begitu pada pokoknya warisan Nusantara lain yang terdapat di seluruh Madagaskar) mengandung unsur-unsur dari berbagai daerah di Indonesia" kata Prof. Razanadriaka.
Nenek moyang mereka mungkin berasal dari Kalimantan Tenggara saja dan beberapa campuran dengan suku-suku pelaut Nusantara lain seperti Bajau, Bugis, atau Jawa.
"Di daerah pantai Kalimantan Tenggara pada zaman sekarang, komposisi ethnis penduduk tidak berbeda. Justru, mengenai hal itu menurut kesan saya, rupa luar orang Merina tidak dapat dibedakan dengan rupa orang Banjar atau Bugis' ujar Prof. Razanadriaka.
Orang Merina dapat dibenarkan berasal dari Indonesia oleh kata dasar bahasa mereka 45% sama dengan kata dasar bahasa Dayak Maanyan. Tetapi mereka juga juga sama seperti orang Bugis karena berani mengarungi lautan luas. Mungkin sewaktu orang dayak masih sebagai bangsa bahari pernah bersahabat dengan pelaut-pelaut Bugis dan Bajau karena budaya kedua suku tersebut ada persamaannya dengan budaya suku Dayak Maanyan. Misalnya ada sepak takrau, memberi sesajen kepada para roh leluhur atau dewa dengan beberapa kepalan nasi dilengkapi dengan lauk-pauk serta ilmu mistik untuk menentukan mujur atau tidaknya suatu perjalanan atau keberuntungan yang masih terdapat pada suku Dayak Maanyan yang beragama Hindu Kaharingan disebut dengan bilangan Bajau.
Sisa-sisa jiwa bahari orang Dayak Maanyan sebagai salah satu unsur suku Banjar masih terdapat pada perahu-perahu atau kapal yang melayari sungai Barito dan Tabalong sesudah mereka mundur sejak pertengahan abad ke-14.
Pusat Pembuatan perahu atau kapal sungai itu terdapat di desa Negara, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalsel.
 
Agama Hindu
Suku Dayak Maanyan saat ini terpusat di daerah Barito Timur Kalteng dan sebagian masih menganut Agama Hindu Kaharingan sebagai bagian dari Hindu Dharma.
Agama Hindu Dharma yang dianut oleh suku Dayak maanyan terdiri atas dua golongan, yaitu yang membakar sisa tulang belulang setelah lebih dahulu ditanam disebut ijambe. Lokasi tempat mereka terdapat di desa Siong, Telang, Murutowo dan Balawa dengan jumlah pengikut sekitar 5.000 orang.
Golongan kedua cukup hanya dengan mengadakan pemakaman biasa, tetapi diikuti oleh upacara kematian yang disebut Pakan-Hanrueh, Miya dan Ngadaton dengan jumlah penganut sekitar 15.000 orang. Meskipunmereka beragama hindu, tetapi cara berpakaian sama dengan orang-orang Melayu.
Yang laki-laki memakai celana, kadang-kadang bersarung, memakai peci hitam dan baju biasa. yang perempuan memakai kain, baju kebaya dan tutup kepaladari kain panjang disebut tatopong. Kehidupan sehari-hari mereka sama dengan warga lain yang beragama Islam maupun Kristen.
Suku Dayak Maanyan yang menganut agama Kristen sudah tidak lagi memakai tat cara adat sebagaimana dalam Hindu Dharma, karena mereka sudah memakai kaidah agama tersebut dalam melakukan ibadahnya. Perbedaan baru kelihatan dalam upacara adat, antara lain, Ijambe, Bontang dan Mubur-Walenon.

Tidak ada komentar: