Kamis, 11 September 2008

Pemanasan global 3

(Bagian 3)
...., setengah dari penduduk Indonesia
mengalami kelaparan tersembunyi (16 Sept 2005), sebagaimana yg dikemukakan
oleh Menteri Kesehatan DR. dr. Fadillah Supari, SPJP(K).
Tanggal 30 April 2008 lalu, Presiden SBY mengajak segenap bangsa ini untuk bersama saling membahu menghadapi krisis pangan dunia. Akar masalah kelangkaan pangan jika dicermati salah satunya adalah krisis manajemen lahan itu sendiri. Secara matematis, inefisiensi pemakaian lahan pertanian untuk pakan ternak tercermin dari perhitungan kalori yang "terbuang" untuk membesarkan ternak cukup. Pakan yang selama ini diberikan kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Berarti masih ada kelebihan kalori untuk 2,1 miliar org.Sebenarnya tidaklah sulit untuk memahami mendesaknya perubahan pola makan ini, yakni perubahan ke pola makan yg mata rantainya pendek. Perut manusia bisa langsung mencerna kedelai, jagung dan gandum tanpa harus melalui perut ternak terlebih dahulu. Tidakkah beralih ke pola makan bebas daging justru dapat menjadi solusi ketimpangan akses pangan seluruh dunia?
Pertanian untuk pakan ternak itu sendiri merupakan penyumbang 9% CO2 (karbondioksida), 65% N2O (dinitrooksida) dan 37% CH4 (metana). Perlu diketahui efek rumah kaca N2O adalah 296 kali CO2, sedangkan CH4 adalah 25 kali CO2. Satu lagi masalah industri peternakan yang sangat krusial yakni, inefisiensi air. Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk irigasinya saja. Sebagai gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram daging sapi mulai dari pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga penyembelihan seekor sapi membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun Lester R. Brown, Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, memaparkan dalam bukunya "Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization" (2008) bahwa karena untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, tdk heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi.
Jejak emisi gas rumah kaca daging terukur jelas. Dr Rajendra memberi
ilustrasi konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong daging sapi, domba atau babi sama besar dengan energi yg dibutuhkan untuk
menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang
36,4 kg CO2, tidak heran bila data dari film dokumenter "Meat The Truth" menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan mengendarai
kendaraan sejauh 70.000 km. Penelitian di Belanda (www.partijvourdedie.en.el)
mengungkapkan, seminggu sekali saja membebaskan piring makan dari daging
masih 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.
Penelitian paling gres yang dilakukan Prof. Gidon Eshel dan Pamela A. Martin
("Diet, Energy and Global Warming") merunut kontribusi setiap potongan
daging terhadap emisi karbon. Penelitian ini diakui secara ilmiah dan
dipublikasikan dalam jurnal bergengsi para ilmuwan Earth Interaction Vol. 10
(Maret 2006). Jumlah gas rumah kaca yg....
(Bersambung kebagian 4...)

Tidak ada komentar: