Jumat, 19 Juni 2009
IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP PESERTA PEMILU 2009
IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP PESERTA PEMILU 2009
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 2008 telah menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pasal itu dinyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Putusan ini mengabulkan permohonan uji materil tujuh partai politik peserta Pemilu 2004 yang berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d itu tidak dibolehkan ikut Pemilu 2009, karena mereka tidak memiliki kursi di DPR. Ketujuh partai itu ialah PPD, PPIB, PNBK, Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia dan Partai Merdeka. Ini berbeda dengan sembilan partai lainnya, yakni PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor, PKPB, Partai PDI, PKPI dan PNI Marhaenis, meskipun tidak memenuhi syarat electroral treshold sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, namun dibolehkan ikut Pemilu 2009 berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena mereka mempunyai kursi di DPR. Ketujuh partai pemohon pengujian berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 208 itu bersifat diskriminatif, tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan.
Apakah implikasi putusan MK tersebut terhadap sembilan partai yang telah dinyatakan secara resmi ikut Pemilu 2009. Apa pula implikasinya kepada tujuh partai yang dinyatakan oleh KPU tidak boleh ikut dalam Pemilu 2009? Apakah putusan MK itu dapat menunda pelaksanaan Pemilu 2009? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini datang dari berbagai pihak, termasuk pula dari Keluarga Besar Bulan Bintang di seluruh tanah air. Dalam Rapat Harian DPP PBB di Pasar Minggu tadi malam, saya menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan mahkamah tentang pengujian sebuah undang-undang, baru berlaku – dalam makna mempunyai kekuatan hukum tetap — sejak putusan itu selesai dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Putusan MK itu tidak mempunyai kekuatan berlaku surut atau retroaktif. Putusan MK itu baru berlaku sejak kemarin, tanggal 10 Juli 2008, sejak putusan itu selesai dibacakan. Sebelum tanggal itu, putusan itu belum ada, dengan demikian ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 itu adalah pasal yang sah, berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam teori maupun praktik penerapan hukum, jika suatu ketentuan hukum dibatalkan, dicabut atau dinyatakan tidak berlaku di kemudian hari, maka akibat hukum dari suatu perbuatan, tindakan ataupun kebijakan yang didasarkan pada ketentuan itu sebelum dinyatakan tidak berlaku, tetaplah merupakan tindakan yang sah dan mengikat. Akibat hukum itu tidak terpengaruh oleh dinyatakan tidak berlakunya ketentuan itu di kemudian hari. Ini adalah asas kepastian hukum yang harus dijunjung tinggi. Saya memberikan contoh Perpu Nomor 2 Tahun 2002, yang memberlakukan surut Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Terorisme kepada pelaku peledakan bom di Bali, telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang pengujian terhadap undang-undang, karena Perpu itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun putusan itu tidaklah membatalkan putusan pengadilan terhadap pelaku peledakan bom di Bali, karena putusan telah mempunyai kekuatan mengikat, sebelum MK menyatakan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 itu bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Kepada peserta Rapat Harian DPP PBB tadi malam, saya memberi contoh di dalam hukum perdata, bahwa sebuah perkawinan yang sah dapat dibatalkan di kemudian hari, apabila ternyata ada salah satu larangan perkawinan yang dilanggar. Misalnya sebuah pasangan telah menikah selama sepuluh tahun, tetapi belakangan hari baru diketahui bahwa pasangan itu adalah bersaudara kandung. Hal ini mungkin terjadi karena suatu keadaan, misalnya bencana alam, peperangan dan sebagainya yang membuat anak-anak terpisah satu sama lain sehingga mereka tidak saling mengenal lagi. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan demi hukum, namun segala perbuatan dan tindakan selama perkawinan belum dibatalkan, beserta akibat-akibat hukumnya adalah sah. Kalau dari perkawinan lahir anak-anak, maka anak-anak itu tetaplah anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Kakau kedua pasangan itu selama perkawinan melakukan perikatan perdata dengan pihak ketiga, maka perikatan itu tetap berlaku, meskipun di kemudian hari perkawinan itu dibatalkan.
Berdasarkan asas hukum yang telah saya uraikan dan kedua contoh di atas, saya ingin menegaskan bahwa Putusan MK yang menyatakan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidaklah mempengaruhi keabsahan keputusan KPU yang menyatakan 34 partai politik ikut Pemilu 2009, termasuk sembilan partai yang tidak lulus treshold menurut UU Nomor 12 Tahun 2003, tetapi dibolehkan oleh Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008. Keputusan itu tidak dapat dibatalkan karena putusan MK tidak berlaku surut. Tahapan-tahapan Pemilu yang telah dilaksanakan oleh KPU yang juga didasarkan atas UU Nomor 10 Tahun 2008 itu tetap berjalan sebagaimana mestinya, termasuk undian nomor urut peserta Pemilu yang telah dilakukan tiga hari yang lalu. Sdr. Ferry Mursyidan Baldan dari Golkar, Hamdan Zulva dari PBB dan Andy Nurpatti dari KPU berpendapat sama, yakni putusan MK tidak berlaku surut. Namun, Andy mengatakan, KPU akan konsultasi dengan Presiden dan DPR dalam menyikapi putusan MK itu. Sebagian pengamat berpendapat putusan MK itu tidak ada artinya, karena tidak dapat dilaksanakan dalam praktik.
Apa yang tersisa dari putusan MK di atas ialah nasib tujuh partai politik yang memohon uji materil tersebut. Akankah mereka ikut dalam Pemilu 2009? Seperti telah saya uraikan di atas, sejak adanya putusan MK tanggal 10 Juli, maka ketentuan Pasal 316 huruf d sudah tidak berlaku lagi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 yang mengatur electoral treshold untuk Pemilu 2009 praktis tidak berlaku lagi, karena UU tersebut telah dicabut oleh UU Nomor 10 Tahun 2008. Dengan demikian, kini terjadi kevakuman hukum tentang aturan mengenai electoral treshold sebagai sayarat untuk ikut dalam Pemilu 2009. Kevakuman hukum itu dapat diatasi jika dalam waktu singkat Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), atau DPR dan Presiden segera membuat undang-undang untuk mengisi kevakuman itu. Namun kalau ini dilakukan, proses pelaksanaan Pemilu, bahkan hari pemungutan suara itu sendiri, dapat tertunda. Proses penerbitan Perpu, apalagi membuat undang-undang, akan memakan waktu. Padahal seluruh tahapan Pemilu harus berjalan sesuai jadual.
Dalam situasi vakum seperti itu, saya berpendapat, semuanya terserah kepada KPU. Lembaga ini dapat menetapkan suatu kebijakan diskretif sebagaimana dikenal dalam hukum administrasi negara. Dapat saja KPU memutuskan tujuh partai itu ikut Pemilu, dan ini berakibat dilakukan undian ulang nomor urut peserta Pemilu, atau diundi di antara tujuh partai itu saja mulai dari nomor urut 35. Namun persoalan lain muncul pula, karena sebagian dari tujuh partai itu pengurusnya telah mendirikan partai baru dan dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU untuk ikut Pemilu 2009. Partai baru yang telah memenuhi syarat itu agaknya tidak mungkin akan mundur dari keikutsertaannya dalam pemilu 2009. Partai yang agak unik, nampaknya adalah Partai Buruh Sosial Demokrat pimpinan Dr. Muchtar Pakpahan. Partai beliau ini, kini termasuk kategori partai yang terkena kevakuman hukum itu. Beliau telah mendirikan partai baru, namun partai baru itu dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat ikut Pemilu 2009. Namun demikian, bisa saja KPU mengambil kebijakan di tengah kevakuman hukum, untuk mengikuti partai lama yang dipimpin Dr. Muchtar Pakpahan itu.
Demikianlah tanggapan saya atas Putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan warga bangsa kita yang berkepentingan dengan Pemilu 2009. Kepada Keluarga Besar Bulan Bintang khususnya, saya serukan untuk tetap tenang. Teruskan semua kegiatan dan persiapan menghadapi Pemilu 2009. Seperti telah saya katakan kita tidak punya pilihan lain. Hanya Ada Satu Kata: Maju!
Fastabiqul khairat
Cetak artikel Oleh Yusril Ihza Mahendra — July 11th, 2008
(http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/11/implikasi-putusan-mk-terhadap-pasal-136-uu-pemilu/#comments)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar