Jumat, 24 April 2009

CSR untuk Kesejahteraan Rakyat(1)

Selasa, 24 Juli 2007
CSR untuk Kesejahteraan Rakyat

* Teddy Lesmana, Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
http://www.media-indonesia.com

DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas (RUU-PT) sebagai perubahan atas UU tentang Perseroan Terbatas No 1/1995. Salah satu pasal UU PT tersebut, yakni Pasal 74 Ayat 1 yang menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Ayat 2 berbunyi tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3 menggariskan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.

Pengesahan RUU PT terutama pasal yang menyangkut CSR tersebut segera mendapat reaksi penolakan dari sejumlah kalangan pengusaha yang berargumen pengenaan kewajiban melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) akan menghambat iklim usaha dan investasi di Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah dan DPR memiliki argumentasi bahwa pemberlakuan kewajiban CSR ini ditujukan mendukung terselenggaranya good corporate governance di kalangan dunia usaha sehingga iklim usaha menjadi kondusif.

Konsepsi 'Corporate Social Responsibility'

Konsepsi mengenai CSR mulai diperkenalkan Bowen pada 1953 dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha. Menurut Bowen, tanggung jawab sosial diartikan sebagai, 'It refers to the obligations of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society' (Bowen dalam Caroll, 1999:270).

Banyak argumentasi dan perdebatan mengenai konsep dan definisi tanggung jawab sosial perusahaan itu. Salah satu argumentasi yang sangat terkenal disampaikan Milton Friedman pada 1970. Ia menyatakan perusahaan seharusnya tidak memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab perusahaan hanya pada bagaimana perusahaan memaksimalkan keuntungan kepada para pemegang sahamnya dan menaati hukum (Friedman, 1970).

Di lain pihak, para pendukung konsep corporate social responsibility (CSR) berargumentasi bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab-tanggung jawab yang lebih luas dari sekadar mencari untung dan taat hukum terhadap para pemegang sahamnya. Tanggung jawab perusahaan itu mencakup isu-isu seperti lingkungan kerja, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan perlindungan terhadap lingkungan (Whitehouse 2003; van Marrewiik 2003; Zadek, 2004).

Lebih jauh, Garriga dan Mele (2004) memetakan teori-teori dan konsep-konsep mengenai CSR. Dalam kesimpulannya, Garriga dan Mele (2004) menjelaskan CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama, yakni mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan. Kedua, menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab. Ketiga, mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Keempat, berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika.

Dengan demikian, menurut Garriga dan Mele (2004), teori-teori CSR secara praktis dapat digolongkan ke dalam empat kelompok teori yang berdimensi profit, politis, sosial, dan nilai-nilai etis. Secara lebih spesifik dan definitif, McWilliams dan Siegel (2001) mendefinisikan CSR sebagai berikut, CSR as situations where the firm goes beyond compliance and engages in actions that appear to further some social good, beyond the interests of the firm and that which is required by law.

CSR pada umumnya dapat dipahami sebagai upaya perusahaan untuk dapat menyeimbangkan antara kebutuhan atau sasaran ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pada saat yang bersamaan juga dapat memenuhi keinginan para shareholder dan stakeholder. Dengan kata lain, CSR adalah bagaimana perusahaan dapat berinteraksi dengan pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, pemerintah, LSM, dan para pemangku kepentingan lainnya.

CSR dan kesejahteraan rakyat

The Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), yang diumumkan mantan PM Inggris Tony Blair pada pertemuan puncak Pembangunan Berkelanjutan 2002, mengajak kalangan bisnis, pemerintah, lembaga-lembaga internasional, dan LSM untuk bersama-sama mempromosikan transparansi atas pembayaran dari pendapatan yang diperoleh industri-industri ekstraktif. Minyak, gas, dan industri-industri pertambangan merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi yang penting di negara-negara berkembang yang memiliki SDA untuk mengangkat rakyatnya dari jeratan kemiskinan. Namun, di banyak negara, kekayaan SDA yang dimiliki suatu negara menyebabkan timbulnya konflik dan kemiskinan. Fenomena itu dikenal sebagai natural resource curse.

Dari 20 negara yang bergantung pada SDA mineral, 11 negara di antaranya tergolong negara pengutang terbesar dan lima di antaranya mengalami perang sipil sejak 1990. Tantangan kunci yang perlu dijawab adalah meyakinkan bahwa SDA dan kekayaan yang diperoleh dari SDA tersebut dikelola dengan tepat. (bersambung....)

Tidak ada komentar: