Tulisan Kawan Via Email...
PETISI
Kepada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia
MELURUSKAN KEMBALI MAKNA TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DALAM RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG CSR (RPP CSR)
UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yang dikeluarkan pada bulan Juli 2007, membawa terobosan baru dalam regulasi sektor bisnis. Pasal 74 memuat tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan perseroan terbatas (PT). Dengan demikian sebuah perusahaan tidak hanya menjalankan kewajiban untuk menghasilkan keuntungan kepada pemegang saham, tetapi juga kewajiban untuk memperhitungkan dan meminimalisir dampak negatif operasi bisnis pada berbagai pihak terkait (pemangku kepentingan/stakeholder) dan lingkungan hidup, yang lebih dikenal dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). UUPT memberikan dasar hukum bagi sektor bisnis untuk menjalankan usaha secara bertanggung jawab dan bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban dari bisnis atas malpraktek yang dilakukannya. Pasal 74 ayat (2) menyatakan bahwa �Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan dan pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran.� Ini mengisyaratkan bahwa pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan melekat pada praktek usaha, dengan demikian diharapkan korporasi dapat mengurangi malpraktek. Pelaksanaan CSR semata-mata dalam bentuk filantropi (charity), meski dalam batas-batas tertentu bermanfaat, tidak efektif membangun perilaku bisnis yang benar dan bertanggung jawab. Fakta menunjukkan bahwa CSR dalam bentuk terakhir marak di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, tetapi juga diiringi dengan malpraktek dalam skala masif.
Namun Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan CSR oleh perusahaan, yang sekarang ini sedang dirumuskan oleh pemerintah, telah menyalahi Ayat (2) Pasal 75 UUPT sekaligus melencengkan CSR dari hakekatnya. Perdebatan hanya berkisar pada besaran dana yang harus dialokasikan untuk pelaksanaan CSR dan dari mana dana tersebut diambil, atau berapa besar persentase dari keuntungan perusahaan. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk mempertahankan status quo, yaitu CSR dalam bentuk filantropi yang terpisah dari praktek bisnis. CSR dengan demikian dilepaskan dari perilaku korporasi. Perdebatan yang sama dengan serta merta juga mengabaikan aspek-aspek penting lainnya seperti definisi CSR yang dapat diterima oleh semua pihak, standar perilaku perusahaan, kontrol publik, dan pelibatan para pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Mengingat besarnya dampak perilaku bisnis pada berbagai pihak, seperti pelanggaran HAM, pelanggaran hak adat, pelanggaran hak pekerja serta kerusakan lingkungan hidup, dengan demikian mempengaruhi keberlanjutan masyarakat Indonesia dalam jangka panjang, CSR dapat digunakan sebagai alat untuk mengurangi dampak-dampak negatif tersebut. Namun CSR tidak akan efektif bila dilepaskan dari kaitannya dengan perilaku korporasi. Karena itu, kami menyerukan kepada Pemerintah untuk
1. Menunda proses perumusan PP CSR yang sekarang sedang berlangsung untuk terlebih dahulu memastikan pelibatan seluas-luasnya para pihak yang berkepentingan dalam proses formulasi PP CSR;
2. Mengembalikan hakekat pelaksanaan CSR sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT, yaitu sebagai bagian dari penganggaran operasional tahunan perusahaan;
3. Memfasilitasi perumusan PP CSR yang mencakup pula hal-hal berikut:
a. Definisi dan elemen CSR yang dapat diterima oleh semua pihak;
b. Standard perilaku bisnis menurut sektor industry, dengan prioritas pada industry yang mengelola dan berkaitan dengan sumber daya alam;
c. Pelaporan pelaksanaan CSR kepada stakeholder dan publik;
d. Verifikasi laporan CSR perusahaan oleh pihak independen;
e. Pembentukan lembaga Ombudsman CSR.
Surakarta, 18 Januari 2008
Jaringan Akuntabilitas Bisnis (JAB)
Kamis, 23 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar