Kamis, 23 April 2009

Demokrasi tidak harus di uji dengan mengelola konflik secara sistematik

Demokrasi tidak harus di uji dengan mengelola konflik secara sistematik, tetapi mendidik rakyat untuk demokratis butuh kejujuran dan jiwa besar. Pematangan demokrasi bagi Negara-negara berkembang tidak hanya dialami oleh Bangsa Indonesia, tetapi juga kita tahu demonstrasi menentang berbagai kebijakan anti rakyat juga terjadi di Negara lain. Reformasi tahun 1998 sebagai jalan baru untuk membentuk pola pembangunan Negara demi demokrasi dan kemanusiaan. Udara kebebasan, pemenuhan hak dan prinsip demokrasi kemudian menjadi kesepakatan rakyat Indonesia untuk memulai langkah baru dalam bernegara. Namun kenyataan sekarang dalam pemilihan umum April 2009 membalikan semangat baru yang lahir dalam kado reformasi.
Papua begitu jauh dari dominasi publik, dan begitu jauh dari tekanan-tekanan elite bangsa ini. Sudah tertinggal jauh secara geografis, malah di jadikan lahan konflik demi pemilu yang tidak benar. Organisasi Papua Merdeka di lirik sebagai tumbal atas kebohongan Negara. Tidak benar konflik di ciptakan oleh kekuatan apapun yang nota bene tidak memiliki kekuatan materi maupun teknologi. Jika terjadi peningkatan gerilyawan Papua membuat kisruh mesti dipertanyakan, dari mana dukungan senjata atau bahan peledak didapat. Salah satu yang membingungkan publik ketika OPM di tuding menembak mati Polisi dan Tentara di Pegunungan Papua. Padahal, Wilayah Papua begitu terisolasi dari upaya penyelundupan senjata atau peralatan perang lainya. Nah, dari mana kelompok pengacau mendapatkan kekuatan ( suplai ) senjata dan bom?.
Tradisi pengelolaan konflik Negara kini berbeda dengan sebelumnya. Aceh, Papua, Poso dan Maluku yang sejak reformasi terus memanas dengan memanasnya situasi konflik antar elite di Jakarta. Bahkan Riau Merdeka pun sempat mencuat yang di dalangi oleh petinggi golkar yang tidak mendapat kedudukan di Jakarta. Pergeseran konflik mengkrucut pada satu titik yaitu Papua. Aksi-aksi pembakaran hingga penyerangan dan penembakan terhadap aparat bawahan menimbulkan korban baik aparat keamanan maupun warga sipil. Atas nama Negara dan undang-undang, kerusuhan yang tersistematik ini para aktornya mungkin sadar atau tidak sadar bahwa mengaitkan konflik elite kedalam rekonstruksi kekacauan tidak dibenarkan untuk mengatakan bahwa inilah demokrasi yang harus di uji coba.



Praktek Jual Negara adalah money politik

Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) hanya bisa menangkap orang yang makan uang ( koruptor ), tetapi KPK tak bisa menangkap para aktor penjual Negara secara sistematik. Pemilu 2009 murni diterapkan pola penjualan Negara. Bagaimanapun juga, membeli suara rakyat dengan uang adalah bukti mentalitas bukan negarawan yang cinta rakyat sendiri, tetapi budaya beli suara sama dengan tradisi kapitalis di era globalisasi sekarang. Jangan mimpi Negara Indonesia tetap utuh dari Sabang sampai merauke jika budaya jual beli suara masih di praktikan secara legal terutama terbukti dilakukan dalam kancah pemilu yang konstitusional. Tradisi membeli suara rakyat dan meniadakan hak rakyat menjadi kenyataan bahwa demokasi hanya sebagai fenomena pasar modal yang kemudian di resmikan dalam bentuk yang konstitusional.
Pola kekuasaan terus berlaku dalam trend demokrasi, berulangnya praktek money politik dalam kancah pemilu legislative lalu dan hancurnya hak memilih bagi warga Negara harus dipastikan bahwa semboyan demokrasi bukan di uji lagi, tetapi krisis hak rakyat di dalam menentukan hak masing-masing kemudian di jarah dalam pola rekonstruksi keterpurukan ber-negara. Bayangkan, lima puluh persen warga Negara Indonesia tidak dapat memilih akibat haknya terabaikan. Toh, pemerintah mau tidak mau harus mengatakan bahwa pemilu konstitusional sehingga tidak boleh di tolak hasil pemilu walaupun terjadi kecurangan di setiap wilayah negeri ini.
Negara memberi ruang bagi dinamika Negara yang terus rapuh dalam proses melindungi dan menjunjung tinggi hak merdeka bagi warga Negara. Budaya politik uang, aneksasi suara separuh rakyat dalam DPT hingga merekayasan wilayah konflik seakan member citra baru bagi generasi bangsa bahwa kecurangan ber-demokrasi harus di reda dengan konflik dalam negeri. Ini terbukti dalam proses pemilu 2009 yang paling buruk. Iya, Stigma OPM/Separatis adalah modal bagi pencitraan diri dan kelompok penguasa untuk meredam bahkan mengalihkan perhatian publik agar ketidakbenaran pemilihan umum tidak begitu penting di usut tuntas.
Dengan demikian keburukan pemilu 2009 harus diakui bahwa seperangkat pecundang demokrasi telah menyatakan diri dan watak tak bermoral. Politik uang bukanlah cara mendidik yang benar, bahkan citra bangsa harus terkubur akibat mentalitas pejabat eksekutif yang berhasil duduk di senayan dengan cara beli suara rakyat. Jika demokrasi terus di jalankan dengan cara-cara kotor, kesadaran rakyat Indonesia dalam menegakkan demokrasi tetap kotor juga dan ujung-ujungnya Negara di jual oleh konstitusi Negara sendiri.
***

Tidak ada komentar: