Panglima perang
kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah
berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan
Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut
dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian
dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan
mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen
yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai
timur Kalimantan. Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan
Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia
Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan
politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).
Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari
Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur
tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak
pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga
membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman. Tahun 1899,
Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan
Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah
hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per
tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun
1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk
pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang
dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit. Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai
berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade
Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui
surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana
sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat
dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.Ketika
Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan
status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953. Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah stimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan....
(bersambung bag 3)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar